Kampanye Antirokok Menguntungkan Industri Rokok Asing
Semakin hari pasar semakin cerdas melihat peluang. Berbagai bisnis baru banyak berkembang pesat, para investor semakin berani menginvestasikan dananya demi bisnis dengan keuntungan besar. Pula demi bisnis, mereka rela melakukan apa saja. Segala celah yang bisa dimasuki akan terus dipepet, termasuk celah yang tercipta dari sebuah peperangan.
Bukan perang senjata seperti Perang Dunia II atau semacamnya, perang yang dimanfaatkan adalah perbedaan pandangan dari dua kubu. Misalnya, perang yang tecipta antar pro dan anti-rokok. Kedua kubu yang seakan tak pernah bisa diam duduk bersama ini ternyata banyak dimanfaatkan untuk bisnis. Aksi kampanyenya pun dipertanyakan kemurniannya.
Entah apa yang terjadi, perang wacana seputar rokok dan tembakau seakan tak pernah usai dan tak pernah menghadirkan solusi. Negeri ini seakan menjadi boneka para investor yang menggerakan masing-masing kubu. Keperluan industri farmasi dan kepentingan investor asing rokok.
Jika dilihat, sejak dulu Indonesia merupakan negara pneghasil tembakau yang baik. Namun, seiring berjalannya waktu impor tembakau justru meningkat. Padahal, kampanye anti-rokok pun terus digaungkan. Ini bertolak belakang dengan perkembangan yang justru malah banyak investor asing rokok dan impor tembakau untuk indstri rokok Indonesia.
Impor tembakau meningkat bisa dilihat sejak tahun 2003 sebesar 29.579 ton yang naik menjadi 35.171 ton di 2004. Hingga 2008 mencapai 77.302 ton. Impor cerutu juga naik. Rata-rata kenaikan 197,5 persen per tahun. Tahun 2004 impor cerutu masih US$ 0,09 juta, di tahun 2008 naik menjadi 0,979 juta.
Selain itu pengusaha rokok dunia malah justru semakin menguasai paasar Indonesia. Philips Morris pemilik perusahaan rokok asal Amerika mengakuisisi Sampoerna pada tahun 2005 dan BAT mengakuisi Bentoel pada tahun 2009. Kini Industri kretek yang masih berada di tangan pengusaha asli Indonesia adalah Djarum, Gudang Garam, Djeruk dari daerah Kudus, dan Wismilak.
Namun, berdasarkan data dari Bursa Efek Indonesia yang menguasai pasar saat ini adalah Sampoerna yaitu sebesar25% dari keseluruhan pasar. Kebijakan-kebijakan yang antirokok seperti pengaturan Tar dan Nikotin malah membuat pasar rokok dari pabrikan asing itu meningkat dan menguntungkan mereka.
Tembakau impor kebanyakan digunakan untuk mendatangkan tembakau-tembakau yang digunakan untuk bahan dasar rokok pabrikan asing. Selain itu, perusahaan rokok asing juga mulai mengalihkan bahan bakunya dengan tembakau impor mengingat kebijakan efisiensi yang mereka lakukan.
Banyak pula isu yang berkembang bahwa kampanye anti-rokok merupakan salah satu cara bisnis dari perusahaan farmasi. Tak hanya itu, bahkan Philip Morris yang nontabenenyaadalah perusahaan rokok pun justru menggelontorkan dana besar untuk kampanye antirokok. Dalam hal ini, mereka bermain dua kaki demi kepentingan bsinis mereka untuk meniadakan kretek yang hanya bisa dibuat di Indonesia.
Saya tidak mau terus menenerus pesimis dalam tulisan ini. Mungkin saja, orang-orang intelektual di luar sana belum sepenuhnya sadar bahwa yang harus dibela adalah masyarakat. Ekonomi masyarakat dan kesehatan masyarakat. Bukan ekonomi bisnis dan kesehatan demi bisnis. Saya rasa, seharusnya sudah bisa ada solusi yang baik bagi perang melawan tembakau ini, tentu saja jika tak ada tangan-tangan bisnis yang menggerakkannya.
0 comments:
Post a Comment