KESIAPAN PASAR TEMBAKAU INDONESIA DALAM
MENGHADAPI MEA
(Masyarakat Ekonomi ASEAN)
MAKALAH
Penyusun:
NAMA: FAIZURROHMAN
NIM: 241.14.04354
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI GICI BUSINESS SCHOOL
Graha Sucofindo Cibitung
, Jl. Arteri Tol Cibitung No. 1
, Call:
02188339641, 88339642, 082817067060, 082817067061
Email :bekasi@gicibusinessschool.ac.id
2015
KATA
PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Puji
dan syukur Penulis haturkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala yang telah
memberikan rahmat dan karuniaNya terhadap Penulis sehingga Makalah dengan judul:
Kesiapan
Pasar Tembakau Indonesia dalam Menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) ini
dapat terselesaikan. Shalawat serta salam, semoga dilimpahcurahkan kepada Junjungan
Alam, habiibana wa maulana wa nabiyyana Wa Rasulana Muhammad shallallahu 'alaihi
wasallam yang telah membawa manusia dari zaman kejahiliahan ke dalam zaman yang
penuh dengan cahaya keislaman yang terang benderang seperti sekarang ini,
hingga akhir zaman.
Pada kesempatan yang berbahagia kali
ini, izinkan Penulis mengucapkan rasa terimakasih Penulis yang tak terhingga kepada.
1.
Rektor Gici
Business School
2.
Dekan/PenasehatAkademik
3.
Dosen Pengampu
Mata Kuliah
4.
Komunitas
Kretek
5.
Pihak
keluarga beserta rekan-rekan civitas akademika
6.
Pihak-pihak
lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Tak ada Gading yang tak Retak demikian
kata pepatah dan tiada satupun yang sempurna di dunia ini karena kesempurnaan hanya
milik Allah semata. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh
dari sempurna, baik secara teknik penulisan, penggunaan ejaan dan tanda baca,
penggunaan tata bahasa, diksi, maupun hal-hal lain yang berhubungan dengan penulisan
makalah yang seharusnya. Maka dengan segala keterbatasan yang Penulis miliki,
sudilah kiranya para pembaca memberikan kritik-kritik serta saran-saran yang
membangun, demi perbaikan-perbaikan yang harus Penulis lakukan di kemudian hari.
Demikianlah, makalah ini tersaji. Semoga
dapat menjadi bahan rujukan, renungan, atau setidaknya sebagai bahan bacaan ringan
bagi siapapun yang ingin mengetahui permasalahan serta tantangan yang terjadi pada
pasar tembakau Indonesia pada umumnya atau bagi hal-hal yang pada khususnya dibahas
dalam topik dari makalah sederhana ini. Akhirulkalam, semoga bermanfaat.
Wassalaamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.
Bekasi, 24 Maret 2015
Faizurrohman,
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL -
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar
Belakang Masalah 1
1.2 Rumusan
Masalah 5
1.3 Tujuan
dan Kegunaan Penelitian 7
BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 9
2.1 Pengendalian
Pemerintah atas Distribusi Tembakau 9
2.2 Kesiapan
Petani Tembakau Memasuki Era MEA
Tahun 2015 17
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN 23
3.1 Kesimpulan 23
3.2
Saran 24
DAFTAR PUSTAKA 25
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Ketergantungan impor merupakan
permasalahan yang berulang setiap tahun. Sangat ironis sebagai negara agraris
yang berkelimpahan sumber daya alam, Indonesia harus mengimpor 29 komoditas
pangan (BPS, 2013). Ke-29 komoditas tersebut adalah beras, jagung, kedelai,
biji gandum dan mesin, tepung terigu, gula pasir, gula tebu, daging sejenis
lembu, jenis lembu, daging ayam, garam, mentega, minyak goreng, susu, bawang
merah, bawang putih, kelapa, kelapa sawit, lada, teh, kopi, cengkeh, kakao,
cabai, cabai kering, cabai awet, tembakau, ubi kayu, kentang. Sebagian pangan
yang diimpor tersebut justru bisa dihasilkan di negeri sendiri. Tidak masuk
akal garam juga diimpor di Indonesia, negara maritim dengan garis pantai
terpanjang ke-4 di dunia2. Terlebih lagi sejak 2010 Indonesia sudah menghadapi
ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) dan akan ditetapkannya Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) pada akhir tahun 2015, berarti akan semakin banyak produk pertanian
dari luar negeri termasuk ASEAN dan China yang masuk ke Indonesia.
Idealnya, impor yang dilakukan
pemerintah disebabkan karena kekurangan produksi dalam negeri. Namun yang
terjadi di negeri ini, Bulog selalu kekurangan kebutuhan beras ketika masa
panen raya. Konon, masalah berulang tiap tahun inilah yang terus menjadi alasan
pemerintah dalam melakukan impor. Impor pangan secara langsung berdampak pada
pasokan dan harga yang terjaga hingga mempengaruhi rendahnya inflasi. Tulisan
ini tidak menganalisa hubungan inflasi tersebut, namun menekankan pada
permasalahan penurunan produktivitas pertanian dan langkah tindak lanjutnya.
Pembangunan pertanian diarahkan untuk
meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani, memperluas lapangan pekerjaan
dan kesempatan usaha serta mengisi dan memperluas pasar baik dalam negeri
maupun pasar luar negeri. Produk holtikultura tanaman sayur-sayuran,
buah-buahan, dan tanaman obat-obatan ditumbuhkembangkan agar mampu mencukupi
kebutuhan pasar dalam negeri termasuk agroindustri. Pengembangan tanaman holtikultura
merupakan salah satu alternative
penganekaragaman bahan pangan. Tanaman holtikultura disebut sebagai komoditi
masa depan yang menjanjikan berbagai keuntungan. Salah satu tanaman
holtikultura yang memiliki nilai komersial adalah tanaman tembakau. Umumnya
tembakau cocok ditanam di daerah yang beriklim panas atau sedang sehingga dapat
menghasilkan jenis-jenis tembakau yang istemewa dengan keadaan setempat. Meskipun
tembakau termasuk tropis, daerah penanamannya sangat luas, mulai dari daerah
panas seperti Indonesia, sampai daerah yang beriklim dingin seperti Norwegia. Tembakau
juga merupakan jenis tanaman yang memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Permintaan
terhadap tembakau baik dalam negeri maupun di pasaran ekspor. Adapun tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui biaya, penerimaan dan pendapatan
petani di daerah penelitian, efisiensi dari usahatani serta kendala-kendala
yang dihadapi dalam mengusahakan tanaman tembakau.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di
Desa Kali Anget, Situbondo, didapat bahwa rata-rata per Kg tembakau di daerah
penelitian adalah sebesar Rp.10.000,00 dengan rata-rata produksi per hektar
1348,18 Kg, sehingga dalam setiap hektarnya akan menghasilkan penerimaan
sebesar Rp 13.481.818 dengan total biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.5.939.566.
Jadi dapat dihitung pendapatan bersih petani tambakau di Desa Kali Anget dalam
setiap hektarnya yaitu Rp. 7.542.252. Perhitungan efisiensi pada penelitian ini
yaitu 2,3 yang menunjukkan bahwa segi tanaman tambakau di Desa Kali Anget
Kecamatan Banyu Glugur Kabupaten Situbondo dapat dikatakan efisien. Sehingga
setiap mengeluarkan biaya sebesar 1 kali maka akan menghasilkan penerimaan
sebesar 2,3 kali, jadi jika mengeluarkan biaya sebesar Rp.1000.000 maka akan
menghasilkan penerimaan sebesar Rp.2.300.000. Untuk mengetahui apakah
benar-benar sudah efisien bagi petani untuk mengusahakan tanaman tembakau, maka
dapat kita uji dengan memakai uji hitung diperoleh hasil 4,3 yang lebih besar
dari tabel 2,776 yang berarti bahwa usahatani tembakau di Desa Kali Anget
Kecamatan Banyu Glugur Kabupaten Situbondo efisien untuk diusahakan.
Kendala-kendala yang dihadapi dalam
mengusahakan tanaman tambakau di Desa Kali Anget yang pertama adalah cuaca,
kekurangan cuaca pada tanaman tembakau khususnya pada musim penghujan sangat
berpengaruh tinggi dikarenakan tanaman tembakau susunan butir tanah akan
menjadi jelek dan akan memperbanyak penyakit pada tanaman tembakau, sedangkan
apabila pada musim kering yang panjang pertumbuhan tanaman tembakau akan mengalami
kelambatan dan hasil persatuan luas akan sangat merosot. Jadi keadaan yang
sangat basah dan kering, kedua-duanya dapat menyebabkan merosotnya hasil
persatuan luas dan kualitas daun tembakau. Yang kedua adalah hama dan penyakit
sangat berpengaruh tinggi juga terhadap tanaman tembakau, karena apabila
tanaman tembakau terserang hama dan penyakit akan memepengaruhi hasil panen
tanaman tembakau.
Produksi tembakau secara nasional terus
menurun beberapa tahun terakhir. Kondisi ini antara lain dipengaruhi oleh
aksesi Framework Convention on Tobacco (FCTC)
dan penyusutan lahan tanaman tembakau. Kerangka kerja pengendalian tembakau
melalui FCTC ini mendorong negara-negara yang menjadi anggotanya untuk
mengganti penanaman tembakau dengan tanaman lain.
‘’Pada pemerintahan SBY konsisten
menolak aksesi FCTC itu, maka kami berharap pada pemerintahan Jokowi juga
melakukan hal yang sama secara objektif dan bijaksana,’’kata Ketua
DewanPimpinan Nasional (DPN) Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI),
Soesenosaat ditemui di Musda II DPDAPTI Jateng di LPMP Jateng,Rabu (4/2).
Menurut Soeseno, upaya penolakan itu
untuk mempertahankan tembakau sebagai komoditas strategis perkebunan dan
industri tembakau. Sebab, tembakau merupakan salah satu industri prioritas nasional.
Namun faktor lain juga mengakibatkan produksi tembakau secara nasional menurun.
Berdasarkan data APTI Pusat, konsumsi
rokok secara nasional sebanyak 330 miliar. Untuk memenuhi itu dibutuhkan 330
ribu ton tembakau per tahun. Padahal produksi tanaman yang panen sekali setahun
itu terakhir hanya sekitar 187 ribu ton dari area seluas 267 hektare. Produksi
Rendah‘’ Jelas dari data itu tercermin produksi kita termasuk rendah. Padahal
pabrikan rokok butuh pasokan dari petani tembakau di seluruh Indonesia,’’ katanya.
Sementara itu, produksi tembakau di
wilayah Jateng juga terus menurun. Selama tiga tahun terakhir, jumlah tembakau
anjlok seiring dengan penyusutan lahan. ‘’Tahun 2011 luas area perkebunan tembakau
di Jateng 45.932 hektare dengan produksi 39.411ton. Akan tetapi pada 2012 luas
lahan menurun menjadi 43.734 hektare dengan produksi mencapai 30.078 ton. Kemudian
tahun 2013 produksinya makin turun hingga 27.847 ton dari lahan seluas 41.800
hektare,’’ jelas Ketua DPD APTI Jateng, Triyono.
Menurut Triyono, hasil itu dari beberapa
daerah yang melakukan panen tembakau seperti Temanggung, Demak, Grobogan, Klaten,
dan Magelang.‘’ Penurunan ini salah satunya karena anomali cuaca karena kami
tidak bisa memprediksi faktor itu. Akan tetapi, jika lahan tembakau ditanami tanaman
tumpang sari malah kurang berkualitas apabila kembali ditanami tembakau menjadi
kurang bagus,’’ Tandasnya.(K3-69).
1.2 Rumusan
Masalah
Sesuai dengan Undang-Undang kesehatan
pasal 113 ayat 2 yang menjelaskan bahwa tembakau dan produk yang mengandung tembakau
merupakan zat adiktif yang dapat merugikan diri sendiri dan lingkungan
sekitarnya. Dan pemerintah memiliki peran mengatur atau melakukan pengendalian
atas distribusi tembakau di pasar.
Pemerintah melakukan pengendalian atas
distribusi tembakau dengan cara menetapkan tarif cukai untuk tembakau dan
membebankan Pajak Pertambahan Nilai. Cara tersebut merupakan cara yang paling
efektif yang dapat dilakukan oleh pemerintah (Chaloupka, dkk., 2010). Tarif
cukai dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang ditetapkan dikenankan berdasarkan
Harga Jual Eceran dari masing-masing produk rokoknya. Perusahaan rokok
membebankan cukai dan PPN yang terhutang kepada konsumen yaitu dengan memasukan
cukai dan PPN kedalam perhitungan harga.
Sesuai dengan hukum permintaan, harga
akan mempengaruhi permintaan barang tersebut, yang nantinya dapat mempengaruhi
pendapatan penjualan dan dengan berkurangnya permintaan akan produk rokok maka
perusahaan akan mengurangi jumlah produksi mereka. Akan tetapi harga produk
rokok, pendapatan penjualan dan volume produksi tidak hanya dipengaruhi oleh
cukai dan PPN, banyak faktor yang lain yang dapat mempengaruhi akan besarnya
harga produk rokok, pendapatan penjualan, dan volume produksi. Dengan rumusan
masalah tersebut maka timbul pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1.
Apakah pengendalian
tembakau atas distribusi tembakau dengan cara penetapan tarif cukai tembakau
berpengaruh terhadap harga rokok per unit, pendapatan penjualan, dan volume
produksi?
2.
Apakah
besarnya PPN berpengaruh terhadap harga rokok per unit, pendapatan penjualan,
dan volume produksi secara nasional dalam hal kesiapan petani tembakau pada era
MEA tahun 2015 ini?
3.
Apakah masyarakat
pertembakauan Indonesia benar-benar telah siap memasuki era MEA?
1.3 Tujuan
dan Kegunaan Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian ini,
tujuan yang hendak dicapai ialah :
1.
Untuk
menguji pengendalian tembakau atas distribusi tembakau dengan cara penetapan
tarif cukai tembakau berpengaruh terhadap harga rokok per unit, pendapatan
penjualan, dan volume produksi.
2.
Untuk
menguji besarnya PPN berpengaruh terhadap harga rokok per unit, pendapatan
penjualan, dan volume produksi secara nasional dalam hal kesiapan petani
tembakau pada era MEA tahun 2015 ini.
3.
Untuk
menguji pengaruh harga rokok per unit, pendapatan penjualan, dan volume
produksi secara nasional dalam hal kesiapan petani tembakau pada era MEA tahun
2015 ini.Dengan tujuan-tujuan tersebut hasil
dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi berbagai aspek, baik itu
aspek teoritis maupun aspek praktis. Kegunaan dari penilitian ini ialah sebagai
berikut :
1.
Bagi
Peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi bagi
peneliti lain yang akan melakukan penelitian yang sama.
2.
Bagi
Masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
kesiapan masyarakat pertembakauan Indonesia dalam menghadapi MEA.
3.
Bagi
Mahasiswa, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi
dan pengetahuan yang tidak diterima di bangku perkuliahan.
BAB
II
HASIL
DAN PEMBAHASAN
2.1 Pengendalian
Pemerintah atas Distribusi Tembakau
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang
Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan hingga saat ini
masih menimbulkan pro dan kontra. Kebijakan ini dikhawatirkan dapat mematikan
industri tembakau yang merupakan penyumbang devisa besar bagi negara. Disisi
lain merokok menimbulkan beban biaya kesehatan yang tinggi.
RPP yang menuai kontroversi tersebut adalah
Pasal 113 ayat (2) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Sebab,
secara tak langsung ayat ini memojokkan tembakau. Tembakau yang oleh agama
dinyatakan halal, dalam UU Kesehatan dinyatakan dilarang untuk dikonsumsi
dalam bentuk olahan apa pun.
Bunyi pasal tersebut adalah: "Zat
adiktif sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 meliputi tembakau, produk yang mengandung
tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya
dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan atau masyarakat sekelilingnya. Produksi,
peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi
standar dan atau persyaratan yang ditetapkan."
Menkes menegaskan bahwa di dalam RPP
tersebut, pemerintah tidak melarang petani untuk menanam tembakau dan tidak
melarang pabrik rokok untuk memproduksi rokok. Menurut Menkes, RPP tembakau
merupakan suatu upaya untuk melindungi masyarakat dengan mengatur zat adiktif
di dalam rokok, yang jelas merugikan kesehatan masyarakat.
Namun RPP tembakau tersebut mendapat
penolakan petani tembakau. Mereka berkali-kali menggelar unjuk rasa menolaknya
karena dinilai mengancam mata pencaharian 2,1 juta petani tembakau.
Menurut perwakilan dari masyarakat
petani tembakau di daerah Kedu (Jawa Tengah), jika RPP tembakau nantinya disahkan,
tentu saja akan ada bentuk “pengendalian” pada industri rokok. Yang
sebenarnya paling dikhawatirkan adalah pengendalian semacam itu karena pasti
akan banyak pihak-pihak berkepentingan yang ikut masuk terutama aparat-aparat
yang bertugas. Mungkin aparat tidak akan langsung ke petani karena petani
adalah massa dalam jumlah banyak, namun yang paling lemah adalah pengusaha
pembeli produk tembakau petani. Jika hal seperti itu terjadi maka orang-orang
akan malas untuk berusaha di bidang itu, kalau sudah malas, petani menanam
tembakau tapi tidak ada yang beli, dan akhirnya industri akan mati. Inilah
fakta yang mungkin terjadi dan harus disadari oleh pemerintah dan perancang peraturan
pemerintah tersebut.
Menurut The President Post, “industri
rokok adalah satu-satunya industri yang telah mandiri jika dibandingkan dengan
industri lain seperti otomotif yang mesinnya masih dari Jepang dan Korea,
industri tekstil yang bahan bakunya masih dari India, dll.”[1]
Dalam hal ini berarti bahwa tembakau
merupakan salah satu produk agroindustri yang paling siap dalam menghadapi era pasar
bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan berlaku akhir 2015. Namun
demikian, Harian Suara Merdeka menyebutkan bahwa “Produksi tembakau secara
nasional terus menurun beberapa tahun terakhir. Kondisi ini antara lain dipengaruhi
oleh aksesi Framework Convention on Tobacco (FCTC) dan penyusutan lahan tanaman
tembakau.”[2]
Selanjutnya, yang perlu dilihat adalah
regulasi dan kebijakan pemerintah terkait soal rokok yang terkesan diskriminatif.
Sampai sekarang Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengendalian Tembakau
(Framework Convention on Tobacco Control, FCTC) sebagai payung hukum untuk
pengendalian peredaran rokok di tataran global.[3]
Di samping itu, pada bulan Maret 2005,
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Eddy Abdurrahman membeberkan fakta bahwa
produk-produk rokok palsu asal Cina
telah masuk ke Indonesia.[4]
Diduga praktik tersebut sudah berjalan lama dan negara dirugikan sekitar Rp 150
miliar per tahun. Fenomena ini menunjukkan bahwa Indonesia memang merupakan
lahan subur bagi pasar produk rokok dunia. Selain itu, rokok kretek juga bisa
mengancam eksistensi rokok konvensional (rokok putih) di belahan dunia lain.
Tidak mengherankan jika Amerika Serikat, misalnya, mengeluarkan Undang-Undang
Pengendalian Tembakau pada September 2009. Isinya adalah larangan bagi semua
jenis rokok yang mengandung zat adiktif berbahan alami, tumbuh-tumbuhan, dan
rempah-rempah yang menimbulkan rasa atau aroma tertentu seperti cengkeh,
vanila, dan ceri.[5]
Undang-Undang tersebut tentu saja
membuat rokok kretek Indonesia tidak bisa masuk ke pasar Amerika Serikat, yang
berpengaruh terhadap penurunan produksi tembakau nasional yang terus menurun.
Lebih daripada itu, kampanye intensif dan ekstensif mengenai bahaya rokok
kretek bagi kesehatan dibandingkan dengan rokok putih juga tidak pernah
berhenti. Inilah perang persepsi yang digelorakan secara akbar oleh para pemain
rokok global. Tujuannya jelas, yaitu mencengkram pemahaman masyarakat mengenai
bahaya rokok, utamanya rokok kretek. Sedangkan tujuan antaranya, seperti
dinyatakan oleh ekonom Universitas Gadjah Mada, Revrisond Baswir ketika menjadi
saksi ahli dalam persidangan uji materi Undang-Undang Nomor 36 tentang
Kesehatan di Mahkamah Konstitusi, adalah agar secara perlahan rokok putih
mengambil alih pasar di Indonesia.[6]
Bangunan stigma negatif mengenai kretek
tersebut diharapkan melembaga di ranah publik sehingga menjadi pisau bermata
dua. Di satu sisi, stigma itu akan mengamankan pasar domestik rokok putih dari
serbuan rokok kretek, dan di sisi lain industri rokok kretek nasional secara
perlahan akan terbunuh manakala perang persepsi telah mereka menangkan. Dengan
demikian, semua perokok nantinya hanya akan mengonsumsi satu jenis rokok, yaitu
rokok putih atau permen ciklet yang dicampur nikotin sintetis (buatan), yang
disebut rokok tanpa asap. Inilah lonceng kematian bagi rokok kretek sebagai
produk kultural dan aroma jiwa anak bangsa Indonesia.[7]
Menurut para petani tembakau di
daerah-daerah seperti Temanggung, Demak, Grobogan, Klaten, dan Magelang. ‘’Penurunan
ini salah satunya karena anomali cuaca karena kami tidak bisa memprediksi faktor
itu. Akan tetapi, jika lahan tembakau ditanami tanaman tumpang sari malah mengurangi
kualitas apabila kembali ditanami tembakau menjadi kurang bagus,’’[8]
Secara empiris, penciutan lahan terjadi
karena dialihkannya lahan dari tembakau ke jenis tanaman lain yang membutuhkan
pemeliharaan, tentu saja jika para pengusaha masih mempunyai modal. Karena
ketika mereka memperoleh lahan-lahan itu, mereka belum mengetahui bahwa hanya
tanah-tanah liparitik ke selatan Sungai Ular atau ke utara Sungai Wampu (lihat
Peta VI, jenis Tanah). Onderneming seperti milik Perusahaan Karet Amerika
Serikat (sekarang bernama Uniroyal) di Kisaran dan banyak dari onderneming
karet yang dikelola oleh Harrison dan Crosfield pada mulanya merupakan onderneming tembakau. Para pengusaha
mengeluarkan biaya pembukaan lahan, tetapi apabila sudah diketahui sifat
sebenarnya dari tanah-tanah liparitik itu, maka hanya sedikit lagi yang dapat
dilakukan perusahaan-perusahaan itu.[9]
Sementara itu Kementerian Perindustrian
melansir, hanya 31% industri manufaktur yang punya kemampuan daya saing di
pasar ASEAN. Sisanya 69% industri lainnya masih megap-megap bertarung di pasar
bebas ini. Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian
Perindustrian, Harjanto, menyatakan bahwa, hanya 1.250 pos tariff atau 31,26%
dari total 3.998 pos tarif produk industri manufaktur yang siap bertarung di
MEA. “Sisanya kesulitan saat MEA berlaku,” terang Harjanto, akhir pekan lalu.[10]
Namun demikian, harian yang sama juga
menjelaskan bahwa, seakan tak mau putus asa, Kementerian Perindustrian
mengklaim sudah punya strategi menghadapi perdagangan bebas ASEAN. Pertama, strategi
ofensif, yakni strategi menyerang guna memperluas pasar industri ke luar
negeri. Strategi ini berlaku bagi 31% produk industri nasional yang memiliki
daya saing di pasar ASEAN. Sektor industri ini antara lain industri karet,
tekstil, makanan dan minuman serta otomotif. “Industri yang kami jagokan untuk
ekspansi dan bisa merebut pasar luar negeri,” kata Menteri Perindustrian M.S.
Hidayat. Kedua, strategi defensif, strategi mempertahankan pasar industri dalam
negeri berlaku bagi 69% industri yang kesulitan bersaing dengan produk ASEAN.
Kelompok industri ini adalah garmen, alas kaki, semen dan keramik. “Kelompok
industri defensif adalah kelompok industri yang kami andalkan agar bisa
bertahan di pasar dalam negeri,” kata Hidayat.[11]
Namun sayangnya , pemerintah belum mau
menjelaskan apa detail strategi ini. Termasuk apakah akan memberikan insentif
kepada pelaku industrinya. Hal ini tentu saja menyebabkan kebingungan pada
masyarakat umum, khususnya para petani tembakau yang sehari-hari berpeluh-peluh
demi menghidupi keluarganya dengan menanam tembakau.
SAP Jayanti, yang melaporkan untuk PTPN
X Magz volume: 012 Edisi Liputan: April - Juni 2014 Pada musim tanam tahun ini,
Kebun Kertosari menargetkan produksi Tembakau Bawah Naungan (TBN) bisa mencapai
438 ton atau 1.350 kg per ha. Sedangkan untuk Besuki Na-Oogst targetnya
mencapai 165 ton atau sama dengan 1659 kg. Padahal tahun lalu, dari target
produksi TBN sebanyak 1.300 kg hanya tercapai 1.090 kg dan dari target tembakau
Besuki Na-Oogst sebesar 1.500 kg baru terealisasi 980 kg.
Sedangkan dari komposisinya, untuk TBN
top grade sebesar 27,5%; medium sebesar 11,11% dan low grade sebesar 39%. Dan
untuk Besuki Na-Oogst kualitas dekblaad
sebesar 2,5%; omblaad 20,5% dan
sisanya filler.[12]
Angka realisasi produktivitas di 2013 memang
belum menggembirakan. Namun kiranya pemerintah menyadari potensi yang ada pada
produk tembakau ini. Bahwa tembakau masih menjadi kontroversi, tentu saja kita
semua mafhum adanya, namun dari segi bisnis dan penyerapan tenaga kerja serta
penerimaan pemerintah dalam sektor pajak dari soal tembakau ini tak dapat pula
pemerintah menutup mata akan hal itu.
Peranan pemerintah dalam hal
pengendalian distribusi tembakau di Indonesia yaang terdapat berbagai jenis
perusahaan rokok dengan jumlah yang banyak, hal tersebut dapat dilihat dari
banyaknya produk rokok dengan berbagai jenis brand dan perusahaan yang memproduksi. Mudahnya memperoleh bahan
baku yaitu tembakau dan keuntungan yang besar menjadikan usaha rokok banyak
diminati. Hal ini didukung dengan kondisi Negara Indonesia yang merupakan
Negara agraris. Seperti pada salah satu daerah di Indonesia yaitu temanggung
yang mayoritas warganya merupakan petani tembakau dan tiap tahunnya dapat
menghasilkan puluhan ton tembakau.
Menurut Undang-Undang kesehatan pasal
113 ayat 2 tembakau, dan produk yang mengandung tembakau merupakan salah satu
zat adiktif yang dapat merugikan diri sendiri dan lingkungan sekitarnya.
Berdasarkan undang-undang tersebut pemerintah memiliki peran dalam mengatur
jumlah distribusi tembakau. Pemerintah dalam mengatur distribusi tembakau
dilakukan dengan cara menetapkan tarif cukai yang dibebankan kepada pengusaha
rokok sesuai dengan struktur cukai yang digunakan. Cara tersebut merupakan cara
yang paling efektif yang dapat dilakukan pemerintah dalam melakukan
pengendalian tembakau dan pemerintah tidak hanya menetapkan tarif cukai dalam
melakukan pengendalian terhadap distribusi tembakau melainkan juga dengan
membebankan Pajak Pertambahan Nilai.
Penetapan kenaikan tarif dalam bentuk
cukai dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ini pada gilirannya diharapkan dapat
menghasilkan pajak negara yang lebih besar dari sektor tembakau, meskipun di
sisi lain juga mematikan para petani dan perusahaan tembakau, dalam hal ini pabrik
rokok kecil dan menengah terpaksa gulung tikar menutup usahanya di tahun 2012
yang lalu.[13]
2.2 Kesiapan
Petani Tembakau Memasuki Era MEA Tahun 2015
MEA adalah komunitas ASEAN (ASEAN Community) di bidang Ekonomi atau ASEAN Economic Community (AEC) yang
dicanangkan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-9 di Bali pada tahun
2003, atau dikenal sebagai Bali Concord
II. Pembentukan komunitas tersebut diprakarsai oleh para Kepala Negara
ASEAN pasca krisis ekonomi tahun 1997 di kawasan Asia Tenggara. MEA diharapkan
dapat mewujudkan tercapainya suatu kawasan stabil, makmur, berdaya saing tinggi
dengan pertumbuhan ekonomi yang berimbang serta berkurangnya kemiskinan dan
kesenjangan sosial ekonomi. Bali Concord II tidak hanya menyepakati pembentukan
MEA, namun juga menyepakati pembentukan komunitas ASEAN di bidang Keamanan
Politik (ASEAN Political-Security
Community) dan Sosial Budaya (ASEAN
Socio- Culture Community).
Untuk mewujudkan MEA pada tahun 2015,
sebagaimana kesepakatan dalam Bali Concord
II, telah disusun ASEAN Economic
Community (AEC) Blueprint sebagai
pedoman bagi negara-negara anggota ASEAN. Empat pilar utama dalam AEC Blueprint
yaitu: (1) ASEAN sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal yang
didukung dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja
terdidik dan aliran modal yang lebih bebas; (2) ASEAN sebagai kawasan dengan
daya saing tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen,
hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan dan
e-commerce; (3) ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata
dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah serta pemrakarsa integrasi
ASEAN untuk negara-negara CMLV (Cambodia,
Myanmar, Laos dan Vietnam); dan (4) ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi
secara penuh dengan perekonomian global dengan elemen pendekatan yang koheren
dalam hubungan ekonomi di luar kawasan dan meningkatkan peran serta dalam
jejaring produksi global.
Sebagai kelanjutan dari penyusunan AEC Blueprint telah ditandatangani Roadmap for an ASEAN Community
(2009-2015) pada KTT ASEAN ke-14 di Hua Hin – Thailand. Dengan penerapan MEA
atau AEC pada tahun 2015 mendatang akan menciptakan konfigurasi baru distribusi
hasil produksi dan faktor produksi perekonomian intra ASEAN.
Sesuai dengan kesepakatan para pemimpin
ASEAN, komunitas ekonomi ASEAN akan segera menjadi salah satu kawasan
perdagangan internasional yang terbuka. Pasar tunggal ASEAN 2015 telah
disepakati dan pada masa mendatang kawasan Asia Tenggara menjadi salah satu
kawasan ekonomi negara-negara yang tergabung dalam organisasi ASEAN yang saling
bekerjasama dan sekaligus bersaing di pasar global. Indonesia menjadi
salah satu negara yang sangat berkepentingan untuk mempertahankan komoditas
strategis di dalam negeri dan sekaligus berupaya meningkatkan intensitas
perdagangan luar negeri. Kekuatan daya saing produk pertanian akan menunjukkan
kelenturan komoditas tersebut menjaga kemampuannya menguasai pasar dalam negeri
dan sekaligus membuka peluang memasuki pasar sekawasan. Kajian ini diharapkan
dapat menyediakan data, informasi dan pengetahuan tentang produk pertanian
strategis nasional yang mampu bersaing di pasar regional dengan melihat secara
mendalam berbagai aspek yang memengaruhi pengembangan produk pertanian
strategis yang bersangkutan secara komprehensif.
Menurut Stenly Mandagi, Pengawas Mutu Hasil Pertanian,
Inspektor Keamanan Pangan di Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Sulawesi
Utara, Peluang dan Tantangan AEC 2015
Peluang Indonesia dalam AEC 2015 untuk sektor Pertanian: 1. Ekspansi Pasar
(Penduduk Indonesia 40% dari ASEAN, GDP ASEAN 4% dunia) 2. Meningkatkan
Produktifitas dan jaringan distribusi 3. Meningkatkan mobilitas Tenaga Kerja 4.
Meningkatkan masuknya Investasi asing. Tantangan / Kendala yang dihadapi
Indonesia menyongsong AEC 2015: 1. Laju Peningkatan Ekspor (Indonesia, masih
berada dibawah ASEAN 5 lainnya) 2. Laju inflasi (Indonesia cukup tinggi
dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya) 3. Kesamaan keunggulan komparatif
(kesamaan produk, geografis, budaya dlsb) 4. SDM: kesiapan SDM ikut
mempengaruhi kesiapan menghadapi AEC 2015, mengingat aliran tenaga kerja intra
ASEAN menjadi lebih lancar dan tanpa hambatan. dan 5. Tingkat Perkembangan
ekonomi.[14]
Isu tembakau kembali menjadi salah satu
trending topic setelah rapat
paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Senin (9/2) lalu, mengesahkan 159
RUU periode 2015-2019. Pada tahun 2015 telah ditetapkan prioritas 37 RUU untuk
dibahas, salah satu RUU yang menjadi prioritas adalah RUU Pertembakauan.
RUU Pertembakauan tersebut lahir dari
perdebatan panjang pro-kontra antar kelompok masyarakat mengenai produksi dan
konsumsi tembakau yang diklaim menimbulkan dampak masalah kesehatan, walaupun
isu kesehatan sendiri dinilai tidak berdiri sendiri menjadi faktor determinan
dalam merespons problem pertembakauan.
Di sisi lain, regulasi yang menjadi
landasan yuridis dalam pengaturan masalah pertembakauan juga dinilai kurang
memadai. Regulasi yang ada lebih banyak merespons isu tembakau dari dimensi
kesehatan. Hal ini bisa kita lihat pada UU Nomor 36/2009 tentang Kesehatan yang
menegaskan tembakau sebagai zat adiktif, dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
102/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk
Tembakau bagi Kesehatan.
Padahal, pengaturan masalah tembakau
tidak cukup hanya dilihat dari isu kesehatan, karena masalahnya telah melebar
menjadi persoalan yang multi problem. Masalah pertembakauan bukanlah masalah
”bisnis asap” semata, namun kekuatan ekonominya sudah jauh merasuk ke dalam
”tulang sumsum” sistem ekonomi masyarakat. Mulai hulu sampai hilir bisnis ”asap
ajaib” ini telah menggerakkan pasar ekonomi dengan omset ratusan triliun
rupiah. Demikian menurut Zamhuri, Peneliti Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo) Universitas
Muria Kudus.[15]
Menurut Kepala Dinas Kominfo Provsu Drs
H Jumsadi Damanik saat membuka kegiatan diskusi mengatakan, dalam persaingan
pasar bebas ASEAN, Sumut diyakini mampu menghadapinya. Produk-produk Sumut
tidak kalah bermutu dengan produk-produk ASEAN maupun negara lain. "Bahkan
beberapa produk memiliki keunggulan di pasar dunia seperti aluminium, tembakau,
minyak sawit dan segala turunannya. Keunggulan produk Sumut akan bertambah
dengan hadirnya kawasan ekonomi khusus (KEK) Sei Mangke di Kabupaten
Simalungun,"[16]
Hal ini membuktikan jika saja
daerah-daerah di Indonesia mempunyai kesiapan dalam menyongsong MEA, maka
pastilah pemerintah Indonesia dengan wilayah yang lebih luas akan lebih siap
menghadapinya.
Senada dengan hal di atas, daerah lain
seperti Kabupaten Jember yang terkenal sebagai penghasil salah satu Tembakau (Nicotiana
Tabacum) terbaik di dunia pun menyatakan kesiapannya dalam menghadapi era
MEA. Melalui potensi tanaman tembakau ini, Kabupaten Jember telah lama terkenal
dan melegenda sebagai “kota tembakau” sebagai salah satu daerah produsen dan
penghasil tembakau terbesar dengan produk yang berkualitas di Indonesia. Tidak
hanya di pasar nasional, bahkan telah lama Kota Jember dikenal di beberapa
negara Eropa seperti Bremen, Jerman dan Amsterdam, Belanda.[17]
Sementara itu, Khoirul Insan, Kabid
Usaha Perkebunan Dinas Perhutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten
Bojonegoro mengaku memang ada pengurangan luas lahan tembakau. Hal ini dilakukan
untuk mengantisipasi minimnya pembelian tembakau oleh pabrikan. “Pabrikan besar
sudah mengirim kuota pembelian tembakau Bojonegoro. Kita siapkan lahan sekitar
8.000 hektar,” terang Insan. Ia menuturkan, adanya pembatasan iklan maupun
reklame rokok tak terlalu mempengaruhi penyerapan tembakau Bojonegoro oleh
pabrikan. Hal ini, menurut Insan, lantaran meski memiliki pasar terbatas,
kebutuhan tembakau tergolong stabil karena memiliki pasar tertentu.[18]
Dari pemaparan di atas, dapat
disimpulkan bahwa pasar tembakau sudah siap menghadapi tantangan dan harapan
serta ancaman yang akan terjadi pada era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Bahwa
kontroversi mengenai tembakau memang sudah ada dari dulu, namun pasar tembakau
dan penikmat tembakau yang umumnya telah dikemas dalam bentuk rokok (kretek)
tetap jalan terus.
[1] The President Post, Edisi
Desember 2012, Minggu ke-3 No. 15, www.thepresidentpostindonesia.com
[2]
Suara Merdeka, Ed. Jum’at, 6 Februari 2015
[3]
Kodrat Wahyu, et.al, Devine Kretek
Rokok Sehat, Masyarakat Bangga Produk Indonesia, Jakarta, Cet I, 2011, hal. 136
[4] ibid., hal. 42
[5] ibid., hal. 43
[6]
Jawa Pos National Network, 08/02/2011
[7]
loc. cit., Devine Kretek Rokok Sehat,
hal. 44
[8] ibid., Suara Merdeka
[9]
Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani
Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria, Sinar Harapan, Jakarta, cet. I,
Jakarta, 1985
[11]
Ibid., KONTAN
[13] Reza Fadillah, Endang Kiswara, Pengaruh Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
dan Cukai Rokok terhadap Skema Finansial Produk Rokok, Diponegoro
Journal of Accounting Volume 1, Nomor
2, Tahun 2012, UNDIP, Halaman 1-12
[14] Stenly
Mandagi, disampaikan
pada Pertemuan Koordinasi Pelayanan Informasi Pasar (PIP) Tingkat Nasional
Tahun 2013 di Manado pada tanggal 5 - 8 Maret 2013
[15] Zamhuri, RUU Pertembakauan, Cara Elegan Tolak Impor
Regulasi, www.umk.ac.co.id
[16] Jumsadi
Damanik, Kualitas Produk dan
Dukungan Pemerintah Skala Prioritas, www.medanbisnisdaily.com
[17] Tembakau Untuk Kehidupan, www.bsn.go.id
BAB
III
KESIMPULAN
DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Dari pemaparan BAB I dan BAB II, dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Tembakau
sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan hingga saat ini masih menimbulkan pro dan
kontra. Kebijakan ini dikhawatirkan dapat mematikan industri tembakau yang
merupakan penyumbang devisa besar bagi negara. Di sisi lain merokok menimbulkan
beban biaya kesehatan yang tinggi.
2.
Peranan
pemerintah dalam hal pengendalian distribusi tembakau di Indonesia yaang terdapat
berbagai jenis perusahaan rokok dengan jumlah yang banyak, hal tersebut dapat
dilihat dari banyaknya produk rokok dengan berbagai jenis brand dan perusahaan yang memproduksi. Mudahnya memperoleh bahan
baku yaitu tembakau dan keuntungan yang besar menjadikan usaha rokok banyak diminati.
3.
MEA
adalah komunitas ASEAN (ASEAN Community)
di bidang Ekonomi atau ASEAN Economic
Community (AEC) yang dicanangkan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN
ke-9 di Bali pada tahun 2003, atau dikenal sebagai Bali Concord II.
4.
Pasar
tembakau sudah siap menghadapi tantangan dan harapan serta ancaman yang akan
terjadi pada era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Bahwa kontroversi mengenai
tembakau memang sudah ada dari dulu, namun pasar tembakau dan penikmat tembakau
yang umumnya telah dikemas dalam bentuk rokok (kretek) tetap jalan terus.
3.2 Saran
1.
Bagaimanapun
kita semua harus menghadapi pasar persaingan antar sesama negara ASEAN dengan
percaya diri dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mendukung kemampuan
bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar.
2.
Makalah
ini tidaklah dimaksudkan sebagai ‘penghias’ atau hal yang mempertajam
kontroversi persoalan tembakau yang selama ini dikenal sebagai salah satu beban
kesehatan yang tinggi, namun lebih kepada penyajian fakta bahwa hal ini
memanglah ada pada masyarakat Indonesia, baik sebagai salah satu produsen
sekaligus konsumen tembakau (rokok) tertinggi di dunia.
3.
Saran
bagi siapapun yang membaca tulisan ini adalah, kita tidak harus larut dalam
kontroversi yang ada, namun marilah kita melihatnya dari sisi positif dan tidak
hanya mempertajam pameo ataupun
kontroversi yang ada dari sisi negatif saja.
DAFTAR PUSTAKA
Damanik, Jumsadi, Kualitas Produk dan
Dukungan Pemerintah Skala Prioritas, www.medanbisnisdaily.com
Fadillah, Reza, Kiswara, Endang, Pengaruh Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
Dan Cukai Rokok Terhadap Skema Finansial Produk Rokok, Diponegoro Journal Of Accounting Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, UNDIP,
Halaman 1-12
Harian Bisnis & Investasi KONTAN,
Senin 7 Juli 2104
Insan, Khoirul, www.kanalbojonegoro.com
Jawa Pos National Network, 08/02/2011
Mandagi, Stenly, disampaikan pada Pertemuan
Koordinasi Pelayanan Informasi Pasar (PIP) Tingkat Nasional Tahun 2013 di
Manado pada tanggal 5 - 8 Maret 2013
Pelzer J. Karl, Toean Keboen dan Petani Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria, Sinar
Harapan, Jakarta, 1985
PTPN X Magz volume: 012 Edisi Liputan:
April - Juni 2014
Suara Merdeka, Ed. Jum’at, 6 Februari
2015
Tembakau Untuk
Kehidupan, www.bsn.go.id
The
President Post, Edisi Desember 2012,
Minggu ke-3 No. 15, www.thepresidentpostindonesia.com
Wahyu, Kodrat, et.al, Devine Kretek
Rokok Sehat, Masyarakat Bangga Produk Indonesia, Jakarta, 2011